TIMES JATIM, BANYUWANGI – Menjadi seorang pelajar yang kritis, inovatif, dan kreatif, pasti menjadi dambaan setiap orang. Namun dalam mencapai itu semua, selain belajar dengan tekun, praktik lapangan, kita juga harus pandai dalam bidang teknologi dan pemanfaatannya. Mengingat semakin berkembangnya zaman, teknologipun juga berkembang pesat seiring meluasnya pengetahuan.
Kita pasti sudah sering mendengar kata AI, apa lagi dizaman sekarang yang marak dengan penggunaannya baik dalam industri, pertanian, bisnis, dan tak terkecuali dalam bidang pendidikan. Kita tidak dapat memungkiri, bahwa AI sedikit demi sedikit mulai mengubah aspek kehidupan manusia termasuk dalam dunia pendidikan. Tidak hanya isu belaka, namun ia telah menjadi bagian dari kehidupan nyata, dan hadir di tengah siswa maupun mahasiswa.
Dalam era digital saat ini, eksistensi Artificial Intelligence atau AI menjadi topik hangat yang banyak diperbincangkan, terutama mengenai manfaat dan risikonya dikalangan akedemik. Apa lagi bagi mahasiswa, kontribusi AI kini tak dapat dihindari. Beberapa aplikasi AI juga dapat menganalisis gaya belajar seseorang dan memberikan beberapa rekomendasi materi yang sesuai.
Kini, untuk mencari solusi dari tugas yang kompleks, seperti: menyusun laporan praktikum beserta penjelasannya, merangkum materi, membuat esai, hingga mempersiapkan tugas presentasi dalam hitungan detik, sekarang semua itu sangat mudah. Hanya menggunakan gawai, semua persoalan selesai.
Dalam hal ini, muncul kekhawatiran tentang menurunnya kemampuan berpikir kritis pada mahasiswa sebab kegiatan tersebut. Lantas, kalau semua hal hanya berasal dari hasil AI, dimana pelajar yang kritis, inovativ, dan kreatif itu?
Sebagai seorang mahasiswa, pasti merasa AI sangat membantu. Saat mendapat soal yang sulit dipecahkan dan membutuhkan jawaban cepat, tinggal buka aplikasi AI dan semua persoalan terjawab. Tapi juga harus sadar, kalau ini terus-menerus dilakukan, kemampuan berpikir bisa menjadi tumpul sebab malas berpikir, ditambah semua tinggal copy-paste dari mesin.
Padahal, tujuan perkuliahan itu untuk membentuk mahasiswa mampu berpikir kritis, kreatif, dan inovatif, dimana mahasiswa diberikan suatu contoh permasalahan, lalu diberikan kesempatan untuk berpikir bagaimana cara memecahkan masalah tersebut.
Dilansir dari Tempo 7 Mei 2025, menurut Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti menilai kecerdasan buatan (Artificial Intelegent/AI) memiliki potensi besar dalam mendukung proses belajar mengajar. Namun, ia menekankan pentingnya penggunaan AI yang terarah dan tetap diselaraskan dengan metode pembelajaran lainya.
Dari pendapat tersebut, terlihat bahwa AI sebaiknya diposisikan sebagai alat bantu, bukan pengganti. Mahasiswa perlu dibekali literasi digital yang kuat agar mampu menggunakan AI secara bijak dan bertanggung jawab. Penggunaan AI tidak boleh menggeser tujuan utama pendidikan: membentuk karakter dan kemampuan berpikir kritis.
Berdasarkan beberapa pengamatan, banyak mahasiswa dan remaja sekarang lebih memilih jalan cepat. Mereka ingin hasil instan, tanpa proses yang panjang. AI pun jadi semacam ‘dewa penolong’ yang bisa mengerjakan semua hal dalam hitungan detik. Padahal, proses belajar itu penting sekali. Bukan hanya hasil akhir yang dihargai, tapi juga usaha dan prosesnya.
Dampak positif dari AI jelas banyak: akses informasi lebih cepat, efisiensi waktu, dan bisa bantu memahami materi yang sulit. Tapi dampak negatifnya juga nggak kalah besar, terutama kalau penggunaannya nggak dibarengi dengan kesadaran dan kontrol diri. Kita bisa kehilangan kemampuan menulis, berpikir logis, bahkan jadi malas membaca.
Kita sebagai mahasiswa harus belajar bijak dalam menggunakan AI. Kita boleh memakai AI, tapi harus tahu batasnya. Jangan sampai AI menggantikan peran kita sepenuhnya. Kita yang harus mengendalikan AI, bukan sebaliknya. AI itu alat, bukan pengganti otak.
Harapan saya ke depan, semoga kampus dan dosen juga bisa ikut membimbing mahasiswa dalam memanfaatkan AI secara sehat. Eksistensi AI di kalangan mahasiswa memang tidak bisa dihindari.
Semua kembali pada diri kita kita. Mau dijadikan alat bantu atau malah jadi ketergantungan, itu semua tergantung bagaimana kita menyikapinya. Jadi, mari menjadi generasi yang cerdas secara digital, bukan cuma pintar di depan layar.
***
*) Oleh : Luthfiyatun Nisa’, Tadris Bahasa Indonesia, Universitas KH. Mukhtar Syafaat.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |