Forum Mahasiswa

Mengembalikan Trust Polri

Kamis, 25 Agustus 2022 - 18:30
Mengembalikan Trust Polri Rivyan Bomantara, Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang.

TIMES JATIM, MALANG – Lagi dan lagi, masyarakat dibuat geleng-geleng oleh institusi pemerintahan bernama Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Tak habis pikir, institusi dengan slogan “Melindungi, Mengayomi, dan Melayani Masyarakat” ini justeru menjadi momok menakutkan bagi masyarakat itu sendiri. Marwah institusi yang selalu diglorifikasi sebagai benteng utama dalam melindungi masyarakat kini semakin jatuh.

Belakangan diketahui bahwa salah satu anggota Polri menjadi terlibat (bahkan menjadi dalang) dari kasus pembunuhan terhadap anggota Polri lainnya, yaitu Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Beliau adalah Irjen Pol Ferdy Sambo, lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) angkatan 1994. Karier Sambo di kepolisian dapat dikatakan cemerlang. Mulai dari Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim), Kapolres Brebes, Wadirreskrimum Polda Petro Jaya, Kasubdit IV Dittipidum Bareskrim Polri, hingga Kadiv Propam pernah diduduki pria paruh baya beranak tiga ini.

Kini, sang abdi negara yang super power ini tengah mengalami masa-masa sulit. Berbagai spekulasi terkait kasus ini mencuat di khalayak publik. Isu sensitif hingga isu-isu tabu mulai dikaitkan dan dicari benang merahnya oleh publik. Hal ini wajar terjadi, sebab terhitung hingga artikel ini ditulis, pihak yang berwenang masih belum terbuka sepenuhnya. Padahal, Presiden Joko Widodo telah meminta secara terang-terangan untuk kasus ini dituntaskan tanpa menutupi apapun.

Irjen Pol Ferdy Sambo tercatat menyampaikan lima kebohongan. Pertama, mengaku baru tiba di Jakarta sesaat sebelum kematian Brigadir J. Namun kemudian terungkap bahwa sebenarnya beliau telah berada di Jakarta sehari sebelum rombongan istrinya tiba. Kedua, beliau mengaku tak berada di lokasi sebab tengah melakukan tes PCR. Namun, kembali ditemui fakta bahwa beliau ada di TKP dan memerintahkan anak buahnya untuk menembak korban. Ketiga, di awal kasus terungkap, disebutkan terjadi baku tembak antara brigadir J dan Bharada E. Namun, lagi-lagi terungkap bahwa peristiwa baku tembak tidak pernah terjadi. Keempat, disebutkan CCTV di rumah dinas Ferdy Sambo mati karena dekodernya yang rusak. Namun kembali terungkap bahwa beliau berperan mengambil CCTV di TKP. Kelima, kasus yang bermula dari dugaan pelecehan terhadap istri Ferdy Sambo ini ternyata tidak benar. Polisi telah menghentikan dua laporan (dugaan pelecehan dan percobaan pembunuhan) dari istri Sambo sebab tidak terbukti kebenarannya.

Mengembalikan Trust

Dalam artikel ini, penulis tidak akan membahas panjang terkait kasus Brigadir J. Biarkan institusi yang berwenang menyelesaikan tugas sebagaimana mestinya. Masyarakat juga bebas berspekulasi dan mencari tahu, toh pihak yang berwenang juga belum terbuka. Saran penulis, untuk sedikit memperbaiki marwah institusi dan citra negara, lakukan seperti instruksi Presiden. Jika ternyata masyarakat sendiri yang membongkar kasus ini, apakah Polri  tidak tambah malu?

Pelatuk telah ditarik, korban telah jatuh, tersangka telah ditetapkan, perintah telah diinstruksikan. Kini tugas Polri adalah membuka kasusnya setransparan mungkin. Apapun taruhannya, jika dibandingkan dengan kepercayaan masyarakat, maka tidak sebanding. Sebab itulah tugas utama institusi Polri: mendapatkan kepercayaan masyarakat. Bagaimana caranya melindungi, mengayomi, dan melayani jika tidak dipercayai? Apalagi, dalang dari balik kasus ini adalah seorang jenderal berbintang dua. Tidak hanya itu, beliau juga menjadi yang pertama di angkatannya, yakni Akpol 1994. Jika salah satu prajurit terbaik yang berpendidikan tinggi dan berprestasi seperti itu saja dapat melakukan hal serupa, bagaimana dengan yang lainnya? 

Seiringan dengan kasus ini, beredar di sosial media beberapa mural bertuliskan “who do you call when police murder?”. Tamparan telak di wajah para abdi negara. Mural tersebut seolah menetapkan kepolisian sebagai satuan yang tak lagi dapat dipercaya sebab justeru menjadi pelaku dari hal-hal yang dihindari. Selain itu, muncul kembali banyak meme lama yang bertuliskan “rajin membaca jadi pintar, malas membaca jadi polisi”. 

Jauh sebelum kasus inipun, Polri telah mendapat “cap” buruk dari masyarakat. Salah satunya ialah perihal penggunaan kata oknum yang tidak ada habisnya. Mulai dari pungli dari polisi, penganiayaan dari polisi, pelecehan dari polisi, hingga percobaan pembunuhan dari polisi selalu ditutupi dengan kata “oknum”. Padahal jelas, bahwa ini adalah permasalahan institusional yang dipersonalisasi. Ada penyakit yang menyebar dalam tubuh kepolisian dan perlu untuk segera diobati.

Selain itu, siapa yang bisa lupa tentang kasus Djoko Tjandra, buronan yang didakwa melakukan tindak pidana cessie Bank Bali. Djoko Tjandra tercatat buron sejak 2009 dan tidak pernah dieksekusi. Kemudian pada tahun 2020, Djoko Tjandra kembali muncul di hadapan publik dan lagi-lagi oknum Polri terindikasi berperan untuk membantunya keluar-masuk Indonesia.

Trust masyarakat bukan sesuatu yang gampang diberikan. Apalagi melihat masyarakat indonesia yang sangat plural dan kompleks, maka trust yang telah hilang tidak dapat dikembalikan dengan cepat begitu saja. Tentunya perlu waktu yang panjang dan berangsur untuk mengembalikan martabat institusi. Martabat itu tidak diambil, ia diberikan untuk mereka yang pantas.

Polri kini bagaikan kapal para perompak. Baru saja terlihat dari jauh, orang-orang sudah memalingkan wajah dan memilih untuk menghindar. Entah apa kata yang tepat untuk menggambarkan institusi ini. Siapapun yang memegang kendali dan memiliki legitimasi untuk berbuat sesuatu, maka lakukanlah secepatnya. Masih ada kesempatan untuk Polri memperbaiki namanya, baik di mata masyarakat Indonesia hingga dunia.

Meskipun tidak ada jaminan bahwa masyarakat akan kembali menaruh kepercayaan untuk institusi Polri sekalipun kasus Ferdy Sambo terungkap, setidaknya itu bisa sedikit mengobati sakit hati masyarakat. Selain menyelesaikan kasus ini, Kapolri Listyo Sigit Prabowo dan jajarannya juga perlu memberantas kelompok-kelompok yang selalu memberi anasir-anasir jahat atau duri dalam daging.

Perlu adanya gotong royong dan bersih-bersih dalam tubuh Polri, terutama membersihkan mereka yang berseberangan tujuan Kepolisian Republik Indonesia. Momentumnya tepat, bersih-bersih bisa dimulai dari mereka yang mencoba untuk menghalang-halangi penyidikan dan mencoba untuk menghilangkan barang bukti.

***

*) Oleh: Rivyan Bomantara, Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

 

_____
**)
Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Faizal R Arief
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.