TIMES JATIM, SURABAYA – Pakar Hukum Pidana Universitas Airlangga (UNAIR) Prof. Dr. Nur Basuki Minarno, S.H., M.Hum., mengungkap pandangan terkait dua Direktorat Reserse Polda Jatim yang melakukan proses penyidikan terhadap laporan antar lawan hukum.
Kasus tersebut melibatkan dua pemilik bisnis waralaba Kampoeng Roti, Darma Surya (DS) dan Glenn Muliawan (GM).
DS melaporkan GM atas dugaan penipuan dan penggelapan dan kini tengah ditangani Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jatim dengan laporan pidana pokok Pasal 372, Pasal 378 dan Pasal 3 Pasal 4 Pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Namun di tengah proses penyidikan, Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditkrimsus Polda Jatim) juga melayangkan surat undangan klarifikasi (surat undangan sprinlidik no 1775/ VII/ RES.2.6/ 2024) terhadap accounting Kampoeng Roti bernama Purwanti yang menjadi saksi kunci DS dengan laporan dugaan TPPU. Laporan balik itu diajukan oleh GM.
Menanggapi kejadian ini, menurut Prof Nur Basuki, laporan ke Ditreskrimum semestinya merupakan satu kesatuan. Sebab laporan itu sudah meliputi dugaan penipuan, penggelapan dan TPPU sehingga tidak perlu melibatkan Direskrimsus.
Memang, lanjutnya, TPPU merupakan tindak pidana khusus. Tetapi yang perlu diingat, lanjutnya, bahwa TPPU merupakan tindak pidana lanjutan dari predicate crime (tindak pidana asalnya) yaitu dalam hal ini Pasal 378 dan 372 KUHP.
"Oleh karena itu jika LP nya Pasal 372 atau Pasal 378 jo. Pasal 3, 4, atau 5 UU TPPU maka yang lebih berwenang adalah unit Reserse Kriminal Umum," ujarnya, Rabu (14/8/2024).
Ia berpendapat demikian agar kinerja penyidikan tidak parsial karena muatan materi yang sama sehingga bisa mendapatkan bukti komprehensif.
Selain itu, ia menyarankan agar Dirkrimum dan Dirkrimsus melakukan koordinasi untuk salah satu menangani perkara tersebut. Di sisi lain, saksi tidak harus bolak-balik menjalani penyidikan.
Lantas, apakah kewenangan Ditreskrimsus hanya menangani kasus-kasus yang sifatnya lex specialist atau ketentuan pidana yang diatur KUHP?
"Sejauh pengamatan saya di Polda unit reserse dibagi menjadi Dirkrimum dan Dirkrimsus. Krimum untuk menangani tindak pidana umum, adapun krimsus untuk menangani tindak pidana khusus," ucapnya.
Maka, kata dia, karena LP tersebut mencatumkan Pasal 372 atau Pasal 378 KUHP jo Pasal 3,4,5 UU TPPU maka yang lebih berwenang adalah krimum.
"Perkara tersebut menurut saya yang tepat ditangani dirkrimum karena predicate crimenya tindak pidana umum," kata Prof Nur Basuki.
Lalu, apakah penerapan pasal TPPU bisa secara tiba-tiba tanpa membuktikan dulu pidana pokoknya yaitu Pasal 372 atau 378?
"Kita bicara dulu dalam UU TPPU dimungkinan TPPU diperiksa tanpa ada predicate crimenya. Tetapi dalam tataran praktek yang saya diketahui jika tidak ada bukti permulaan adanya suatu tindak pidana (predicate crime) sangatlah tidak relevan untuk memeriksa TPPU nya," sambungnya.
Ia mengatakan, sangatlah sulit untuk melapor perkara TPPU tanpa ada bukti permulaan adanya tindak pidana (predicate crime).
"Nah, terkait dengan itu menurut pendapat saya, yang lebih berwenang, bukan yang berwenang lho ya, karena ya sama-sama berwenang antara krimum dan krimsus. Tetapi menurut saya, yang lebih berwenang itu adalah krimum," tegasnya.
"Kenapa kok begitu? Karena predicate crime nya itu 372 dan 378 itu merupakan tindak pidana umum, sehingga itu merupakan domain dari kriminal umum, bukan kriminal khusus," jelasnya menambahkan.
Artinya, apakah dalam hal ini TPPU tidak bisa berdiri sendiri?
"Iya, sebenarnya TPPU itu adalah tindak pidana lanjutan, gitu, jadi yang lebih berwenang itu adalah kriminal umum," tegasnya.
Dalam Undang-undang Hukum Pidana, ia tak memungkiri bahwa TPPU bisa disidik tanpa menyidik predicate crime. Namun berbeda dengan praktek.
"Tetapi kalau di dalam praktek, itu sangat sulit. Maka di dalam praktek itu yang terjadi meskipun tindak pidana asalnya itu tidak dibuktikan, tapi paling tidak ada yang namanya bukti permulaan yang cukup karena (tindak pidana, red) asal itu diberlakukan," ucapnya.
"Paling tidak aparat penegak hukum punya bukti permulaan," tandasnya.
Diketahui, kinerja penyelidik Ditkrimsus Polda Jatim sangat sat-set, karena dalam waktu 3 (tiga hari) sejak diterimanya pengaduan masyarakat sudah langsung menerbitkan SPRINLIDIK disertai dengan terbitnya undangan para saksi yang juga adalah saksi kunci pada LP yang ditangani oleh Ditreskrimum yang sudah berada pada tahap penyidikan.
Artinya, apakah ada dugaan conflict of interest oleh Oknum Ditreskrimsus Polda Jatim tersebut?
"Kalau saya melihat bukan pada conflict of interest, tetapi lebih tidak adanya komunikasi, koordinasi, sinergitas di antara penyidik apalagi di sini masih dalam satu atap yaitu polda. Jika hal itu terjadi, maka penanganannya tidak komprehensif, tidak efektif (saksi dipanggil berulang kali untuk kepentingan yang sama), sehingga pada ujungnya penanganan perkaranya akan berlarut-larut," kata dia.
Terkait dengan dugaan conflict of interest, ia berharap tidak terjadi agar penyidik tidak kehilangan kepercayaan dari masyarakat.
"Sehingga wajib memberikan perlindungan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat secara professional, procedural, proposional, cepat, tepat, dan transparan," tandasnya.
Lalu mengapa dalam satu kesatuan Polda Jatim, bisa menangani 2 (dua) kasus yang sama oleh 2 (dua) Direktorat Reserse yang berbeda? Sedangkan pasal yang diterapkan adalah pasal-pasal yg berada dalam ranah pidana umum.
Apakah terdapat kekeliruan mendisposisi, atau pengaduan masyarakat a quo (di Direskrimsus) tidak melalui mekanisme pengaduan di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT)?
"Saya melihatnya belum ada suatu sistem yang terintegrasi di kepolisian sehingga yang terjadi seperti itu. Di satu Polda pun terjadi seperti itu, bagaimana jika LP dibuat dengan Polda yang berbeda? Pasti akan terjadi over lapping atau duplikasi laporan," terang Guru Besar di Fakultas Hukum Unair tersebut.
Ia menyarankan perlu ada pembenahan system dan tata kerja/tata kelola dalam penanganan suatu perkara di kepolisian.
"Yang saya tahu jika mau melapor atau mengadu harus melalui SPKT, tentunya jika laporan tidak melalui SPKT maka laporan tersebut harus ditolak. Ini supaya tertib administrasi dan menuju good public services," ucapnya.
Sementara itu, pihak Ditreskrimsus Polda Jatim mengatakan bahwa laporan pihak GM ke krimsus terkait mark up pembayaran pajak dan permainan dengan oknum serta TPPU. Menurut Prof Basuki, persoalan penggelapan pajak adalah berbeda.
"Kalau pajak itu kan masalah tindak pidana khusus, tapi kalau itu terkait penggelapan tindak pidana biasa, mestinya kewenangan dari krimum," ucapnya.
Prof Nur menjelaskan, apabila jika perkara itu terkait satu sama lain mestinya ditangani satu unit saja.
"Nanti kan bisa jumbo gitu kan, malah menurut pendapat saya itu akan menjadi kontraproduktif," ujarnya.
Apakah juga bisa menimbulkan conflict interest antar unit?
"Saya tidak mengatakan itu conflict of interest, kalau conflict of interest kan seolah-olah penyidik mempunyai maksud tertentu di dalam hal itu, saya nggak berani mengatakan hal itu, " jelasnya.
Penanganan ini dinilai akan menjadi tumpang tindih, atau kontraproduktif.
"Mestinya satu orang itu cukup diperiksa satu kali, dengan adanya penanganan antara krimum sama krimsus, nanti saksi itu bisa dipanggil bolak-balik untuk kepentingan yang sama seperti itu kan juga menjadi merepotkan," ujarnya.
Secara terpisah, Kasubdit II Perbankan Ditreskrimsus Polda Jatim AKBP Damus Asa mengatakan bahwa terbitnya sprinlidik tersebut sudah sesuai dengan kewenangan dan yang ditangani krimsus berbeda dengan krimum.
"Karena ada dugaan permainan oleh oknum bagian keuangan Kampoeng Roti," jelas AKBP Damus.
Laporan ke Ditreskrimsus berupa dugaan markup terkait pembayaran pajak dan dugaan permainan dengan oknum serta TPPU dengan kerugian untuk pengajuan pajak bulan Sept 2023- Desember 2023 sekitar Rp1,4 miliar.
"Sejak dilaporkan tanggal 17 Juli 2024 sudah ada 3 orang saksi yang telah dilakukan pemeriksaan," katanya. (*)
Pewarta | : Lely Yuana |
Editor | : Deasy Mayasari |