https://jatim.times.co.id/
Berita

Bioskop Keliling di Malang: Dari Gambar Idoep Sampai Layar Tancap (Bagian2)

Sabtu, 03 Mei 2025 - 07:05
Bioskop Keliling di Malang: Dari Gambar Idoep Sampai Layar Tancap (Bagian2) Ilustrasi masyarakat sedang menonton layar tancap (FOTO: Kaskus)

TIMES JATIM, MALANG – >Kebangkitan Film Nasional di Era Kemerdekaan

Nah, setelah merdeka, film Indonesia mulai bangkit.

Sekitar tahun 1950, ada 13 perusahaan film berdiri. Sebagian besar dikembangkan oleh orang Tionghoa. Namun, ada juga perusahan film yang dikembangkan pribumi: Perusahaan Film Nasional Indonesia (PERFINI) yang didirikan Usmar Ismail dan Perseroan Artis Indonesia (PERSARI) yang didirikan Djamaluddin Malik pada 23 April 1951.

Terjadi pasang surut industri film di Indonesia saat itu seiring dengan munculnya beberapa gedung bioskop di Malang.

Laman ngalam.id mencatat sejumlah gedung bioskop yang pernah berdiri di Malang Raya. Ini di antaranya:

1. Jaya Theater di Jl. Jend. Gatot Subroto 69 Malang, dulunya bernama Centrum Theater
2. Merdeka Theater di Jl. Basuki Rahmad 10 Malang, dulunya Roxy Theater, pernah jadi pujasera
3. Mulia Theater di Jl. Laks. RE. Martadinata 12, dulu bernama Emma Theater
4. Agung Theater di Jl. KH Agus Salim, sekarang gedung Mitra 1, dulunya Alhambra Theater kemudian diubah menjadi Grand Theater.
5. Surya Theater di Jl. KH Agus Salim, berdampingan dengan Agung Theater, sekarang menjadi Mitra I, dulunya Globe Theater
6. Ria Theater di Jl. Merdeka Utara 4, dulu berada di Alun-Alun sebelah timur bernama Rex Theater, sekarang menjadi Bank Lippo
7. Ratna Theater di Jl. KH Agus Salim, sekarang dipakai Malang Plaza, dulunya Atrium Theater
8. Flora Cinema di sudut Jl. KH. Agus Salim dan Jl. Zainul Arifin, dibangun tahun 1928, sekarang menjadi pertokoan.
9. Bioscoop Mimosa di Batu, lalu menjadi Batu Theater
10. Seni Sono Theater di Jl. Agus Salim, Batu
11. Mutiara Theater di Jl. Trunojoyo, sekarang menjadi Swing Cafe
12. Malang Theater (MT) di Jl. Ade Irma Suryani, sekarang menjadi pertokoan (Bank BTN)
13. Irama Theater di Jl. Letjend Sutoyo sekarang tanah kosong dengan pasar di sisinya
Gadang Theater di Jl. Kol. Sugiono 383 Malang
14. Jaua Theater di Jl. Kol. Sugiono
15. Garuda Theater di Jl. Kyai Tamin Kidul Pasar
16. President Theater  di Jl. Letjen Sutoyo, lalu menjadi Mitra II, sekarang menjadi Hotel Savana.
17. Kayutangan Theater di Jl. Basuki Rahmad, sekarang menjadi toko dealer.
18. Bioskop Kelud di Jl. Kelud 9 Malang
19. Bioskop Tenun di Jl. Tenun (sekarang Jl. Susanto) Janti
20. Bioskop Manunggal di belakang Polsek Lowokwaru
21. Bioskop Celaket sebelumnya bernama Surya Baru
22. Misbar Garuda Jaya di Jl. LA Sucipto sebelah timur Stasiun Blimbing, lalu pindah di lapangan Blimbing (sekarang jadi Masjid Sabilillah)
13. Misbar di Jl. Sokarno-Hatta, sekarang menjadi Rumah makan Ringin Asri.
14. Bioskop Galunggung di Jl. Raya Langsep 16 Malang
15. Cinedex di gedung serbaguna Dinoyo
16. Garuda Theater di Jl. Raya Singosari 3 Singosari
17. Irama Theater di Jl. Semeru Selatan 354 Dampit
18. Sari Theater di Jl. Panglima Sudirman 48 Lawang, sekarang menjadi counter

Sekitar akhir 1960-an mulai muncul keinginan untuk memutar film ke daerah yang belum terjamah oleh bioskop karena pertumbuhan industri film hanya terkonsentrasi di kota.

Apalagi ketika memasuki 1970-an, bisnis produser film nasional mengalami penurunan akibat langka dan mahalnya jaringan distribusi film nasional pada saat itu. Dominasi film-film Hollywood sangat mewarnai persaingan.

Hal itu mendorong sebagian produser dan pengusaha bioskop untuk menayangkan film keliling ke berbagai desa dengan keuntungan yang tidak seberapa.

Film-film yang ditayangkan pun bukan film yang saat itu ditayangkan di bioskop-bioskop. Namun film lama, 'film murah' yang sekadar bisa menghibur rakyat kecil yang belum pernah nonton film di bioskop.  

Layar Tancap, Kenangan di Bawah Langit Malam

Dengan sebuah mobil, proyektor 16 mm, genset untuk listrik, 3 sampai 4 gulungan pita film, dan layar dari kain putih, dibawa berpindah desa. Berpindah kampung.

Proyektor itu keliling daerah memutar 3 sampai empat film dalam sekali pertunjukan yang biasanya dimulai usai isya. Ada yang selesai jam 12 malam. Bahkan ada yang selesai jam 3 pagi, menjelang waktu subuh.

Drs Hariadi atau sering dipanggil Pak Hariadi, adalah salah satu pengusaha layar tancap itu. Ia saksi hidup pelaku layar tancap. Ia memulai bisnis layar tancap ini mulai tahun 1968-an. Usahanya sempat malang melintang di dunia layar tancap Jawa Timur sampai 1990-an.

Pemilik Indonesian Old Cinema Museum, di kompleks rumah makan Ringin Asri, Jalan Soekarno-Hatta No 45, Kota Malang ini, punya 52 unit proyektor keliling saat itu. Museum yang dirintisnya, kini jadi saksi kejayaan lancar tancap di Malang.

Kalau sempat berkunjung ke museum itu, ada banyak judul film yang dipajang. Mulai dari "Pengkhianatan G.30.S PKI"; film Warkop Dono-Kasino-Indro; film laga Barry Prima; film horror Suzana sampai filmnya Sally Marcelina. Cukup lengkap.

Dari judul film yang ada, mungkin film-film Hollywood atau barat jarang diputar. Mungkin karena alasan sewa yang mahal atau masalah copyright. Atau mungkin juga, masyarakat desa tidak begitu suka dengan film barat.

Tahun 70-an, film-film pak Hariadi itu sudah pernah 'ditanggap' di Sendang Biru, Malang Selatan. Bayangkan, tahun itu, akses dari Kota Malang menuju Sendang Biru penuh perjuangan. Sebagian besar jalan tidak beraspal. Itu belum daerah atau pelosok yang ada di Jawa Timur.

Perjalanan bisnis ini mulai terhambat ketika pemerintah melihat konten film yang ditayangkan ternyata tidak ramah anak. Bisa dimaklumi, film-film berbau dewasa dengan pemeran Sally Marcelina ditonton bebas oleh anak di bawah umur yang kebetulan juga ikut nonton di lapangan.

Meski pemerintah sudah mengeluarkan peringatan keras pada 1986, toh masih banyak yang melakukan pelanggaran.

Layar yang Mulai Meredup

Tahu 1900-an adalah tahun paling sulit bagi pengusaha layar tancap. Televisi warna yang mulai banyak masuk desa dan munculnya VHS yang bisa memutar banyak film, adalah salah satu pemicunya.

Di samping itu, mereka juga kesulitan untuk dapat menyewa film baru karena berhadapan langsung dengan sindikat film saat itu. Akibatnya, karena hanya memutar film-film lama, banyak masyarakat di desa yang tidak lagi menyewa layar tancap. Bosan, judulnya itu-itu saja.

Fenomena tersebut juga melanda banyak bioskop di kota. Satu demi satu bioskop mulai tutup. Pun beberapa bioskop di Malang. Bioskop itu mulai diganti bioskop modern yang kursinya empuk serta film-film terbaru dari barat dan Hollywood.

Meski layar tancap kini sudah jarang ditemui lagi di Malang. Tapi, jejaknya masih ada. Beberapa komunitas film masih menggelar nonton layar tancap dengan motif tidak ambil keuntungan. Lebih ke arah tema-tema film tentang penyadaran.

Jejak bioskop keliling di Malang adalah bukti bahwa film bukan sekadar hiburan, tapi juga bagian dari sejarah sosial Malang.

Meski teknologi berubah, semangat menonton bersama di ruang terbuka tetap relevan sampai saat ini. Layar tancap kini banyak hadir dalam bentuk baru: outdoor cinema atau festival film indie.

Jadi, kalau orang tua kita cerita serunya "nonton layar tancap", sekarang kamu bisa membayangkan, dan paham, betapa spesialnya saat itu bagi mereka.

Mirip ketika kamu menikmati keseruan saat nobar nonton Timnas Indonesia. (*)

                                                                                              ----------------------------------

- Sebagian tulisan ini disadur berdasarkan tesis berjudul "Bioskop keliling di Kota Malang tahun 1970-1995" karya Mariatul Ulfa Utami Putri, Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Program Studi Ilmu Sejarah, Universitas Negeri Malang, April 2020

- Tulisan ini juga diambil dari beberapa sumber lain

Pewarta : TIMES Magang 2025
Editor : Faizal R Arief
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.