TIMES JATIM, MALANG – Universitas Brawijaya (UB) resmi membuka pameran seni “Titi Rasi” pada Jumat (14/11/2025) di Auditorium UB. Pameran yang menampilkan karya-karya monumental seniman Malang, Bambang Sarasno (SAR), ini menjadi bagian dari rangkaian perayaan Dies Natalis ke-63 UB sekaligus ruang ekspresi seni yang mengangkat batik sebagai medium kontemplatif dan kosmologis.
Acara pembukaan dilakukan oleh Wakil Rektor III UB, Dr. Setiawan Noerdajasakti, SH., MH. Dalam kesempatan itu, dia menekankan pentingnya melestarikan batik sebagai identitas budaya Indonesia. Menurutnya, batik bukan hanya kain, tetapi simbol perjalanan budaya yang harus terus dirawat lintas generasi.
Sakti menyampaikan bahwa batik merupakan warisan budaya yang telah mendapat pengakuan dunia.

“Batik itu budaya kita. Seni, kain khas Indonesia. Sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk melestarikannya sebagai budaya bangsa. Bahkan UNESCO telah mengakui batik sebagai heritage dunia,” ujarnya.
Ia juga mengajak masyarakat untuk memahami perjalanan batik hingga menjadi busana populer seperti sekarang.
Sakti mengisahkan pengalaman masa kecilnya ketika batik mulai dikenalkan sebagai pakaian resmi pada awal 1970-an. Menurutnya, sebelum tahun 1970, masyarakat Indonesia jarang mengenakan batik sebagai busana. Batik lebih banyak digunakan sebagai jarit atau lembaran kain tradisional.
“Kalau melihat foto-foto sebelum tahun 70-an, tidak ada orang memakai baju batik. Batik baru populer sekitar 1971. Waktu itu saya masih kelas 1 SD, ayah saya membelikan baju batik di Kayutangan, di Toko Dewi. Itu momentum batik pertama dipakai sebagai baju,” kenangnya.
Ia menambahkan bahwa popularitas batik sebagai busana mulai meningkat setelah Gubernur DKI Jakarta kala itu, Ali Sadikin, memperkenalkan batik sebagai alternatif busana resmi untuk menghadiri resepsi dan acara formal.
Ide tersebut muncul karena busana jas dinilai mahal dan tidak semua warga mampu membelinya. Batik kemudian diperkenalkan sebagai pakaian yang resmi tetapi lebih terjangkau.
“Pak Ali Sadikin punya ide: ada pakaian yang resmi, bisa dipakai menghadiri berbagai acara, dan tidak mahal. Maka batik dijadikan busana dinas. Sejak itu batik mulai populer sebagai pakaian resmi," kata dia.
Sejak saat itu, batik berkembang dengan ragam corak, daerah, dan makna. Bahkan, pada KTT APEC 1995 di Istana Bogor, para pemimpin dunia mengenakan batik sebagai simbol diplomasi budaya Indonesia.
Sakti juga menyampaikan apresiasi kepada Ikatan Alumni (IKA) UB yang menjadi inisiator kegiatan. Juga kepada Bambang Sarasno atas karya-karya yang ditampilkan dalam pameran “Titi Rasi”. Ia menilai karya tersebut tidak hanya artistik, tetapi juga memiliki dimensi simbolik kuat yang mengajak publik membaca ulang batik melalui perspektif rasi bintang.

“Saya duduk menghadap bintang Gemini, lalu ada Leo, Cancer, dan sebagainya. Karya Pak Sarasno luar biasa. Kegiatan seperti ini sangat langka dan perlu terus dilanjutkan,” ujarnya.
Menurutnya, keberlanjutan pameran semacam ini penting agar generasi mendatang tetap merawat kebudayaan Indonesia, terutama batik yang mengalami perjalanan panjang sebelum menjadi bagian integral dari identitas nasional.
Pameran “Titi Rasi” menjadi penanda bahwa UB tidak hanya berkembang sebagai institusi akademik, tetapi juga sebagai ruang yang mendorong tumbuhnya kreativitas, seni, dan budaya. (*)
| Pewarta | : Achmad Fikyansyah |
| Editor | : Imadudin Muhammad |