TIMES JATIM, JA – Tumben para propagandis Korea Utara adem ayem saat Korea Selatan sedang diguncang kegaduhan menyusul pengumuman darurat militer Minggu lalu oleh Presiden Korsel, Yoon Suk-yeol.
Korea Utara baru memecah kesunyian itu ada hari Rabu, seminggu setelah dikeluarkannya dekrit darurat militer oleh Presiden Korea Selatan, dan Korea Utara tampaknya menyadari bahwa mereka tidak bisa tinggal diam.
Pada hari Rabu, KCNA baru melaporkan kejadian di Korea Selatan, dengan nada cercaan seperti biasanya, setelah seminggu mereka diam saja.
Padahal, biasanya, setiap ada perbedaan pendapat publik yang ditujukan terhadap pemerintah Korea Selatan, dengan cepat ditangkap oleh media pemerintah Korea Utara.
Namun, sejak dikeluarkannya deklarasi darurat militer oleh Presiden Korea Selatan, Yoon Suk-yeol, malam hari tanggal 3 Desember, Korea Utara mengabaikan kesempatan untuk mengejek tetangga dan saingan ideologisnya itu.
Sebaliknya, liputan Kantor Berita Pusat Korea (KCNA) yang dikelola pemerintah Korea Utara justru berfokus pada isu-isu domestik yang lebih umum, seperti pembukaan pabrik bumbu dan sekelompok pemuda yang ikut serta dalam "pertemuan pengambilan sumpah".
Para analis sempat bingung dengan sikap diamnya Korea Utara untuk melontarkan beberapa propaganda, terutama peluangnya untuk menargetkan Yoon Suk-yeol.
Padahal Yoon Suk-yeol telah mengambil garis yang jauh lebih tegas terhadap Korea Utara daripada pendahulunya yang lebih liberal.
Yoon Suk-yeol mengklaim bahwa ia dipaksa bertindak mengumumkan darurat militer karena adanya "kekuatan anti-negara" dan "kekuatan komunis Korea Utara" dalam jajaran oposisi politik domestiknya.
Dilansir Deutch Welle (DW), beberapa pihak menduga, bahwa rezim Korea Utara memilih untuk tidak menayangkan rekaman aksi protes masyarakat Korea Selatan secara massal terhadap pemerintah Yoon Suk-yeol itu karena Korea Utara khawatir hal itu bisa mendorong warganya yang tidak senang juga melakukan hal serupa.
Dugaan lain, Korea Utara khawatir kerusuhan di Korea Selatan itu bisa mengakibatkan pemerintah Korea Selatan yang sedang tertekan itu kemudian berusaha mengalihkan perhatian publik ke tempat lain dan memprovokasi insiden keamanan yang menyeret Korea Utara.
Seorang profesor diplomasi di Universitas Studi Korea Utara di Seoul, Goo Gap-woo setuju bahwa Pyongyang secara aktif menjalankan kebijakan menjauhkan diri dari segala bentuk kontak dengan tetangga selatannya itu.
"Pihak Korea Utara biasanya memang sangat cepat menyebut 'rezim boneka Korea Selatan' dan seterusnya setiap kali terjadi kerusuhan sosial. Saya juga kaget kok mereka tidak berkomentar apa pun tentang demonstrasi kali ini," katanya seperti dikutip dari Deutch Welle.
"Saya hanya bisa berpikir bahwa ini adalah bukti lebih lanjut bahwa mereka tidak ingin berhubungan dengan Korea Selatan setelah deklarasi 'dua Korea' Kim Jong Un tahun lalu," katanya
"Khususnya mereka tidak ingin terlibat dalam konflik apa pun di Semenanjung Korea," tambahnya.
Ini, lanjut dia, mungkin juga merupakan ujian militer mengingat jumlah amunisi dan pasukan yang disumbangkan Korea Utara kepada pasukan Rusia yang saat ini bertempur di Ukraina.
Goo juga mengecilkan anggapan bahwa Korea Utara menunda merilis berita mengenai kekacauan di Korea Selatan itu karena khawatir hal itu bisa meyakinkan beberapa warga Kim Jong Un untuk melakukan perlawanan serupa terhadap pemimpin mereka.
"Saya tidak berpikir pemerintah di sana mempertimbangkan dampak laporan tentang peristiwa di Selatan terhadap Utara," katanya.
"Saya pikir kemungkinan besar Korea Utara lebih fokus pada upaya memisahkan diri dan menjauhkan diri dari Selatan," katanya lagi.
Teori lain tentang bungkamnya Korea Utara berakar pada pengumuman Pyongyang pada akhir tahun 2023 bahwa negara itu mengubah konstitusinya untuk mencerminkan posisinya bahwa Korea Selatan kini dipandang sebagai "negara yang suka berperang" dan bahwa hubungan selanjutnya akan terjalin antara "dua negara yang bermusuhan."
Itu merupakan perubahan langkah dari memandang kedua Korea sebagai satu bangsa yang homogen yang suatu hari akan bersatu kembali.
"Dengan bingkai seperti ini, Pyongyang tampaknya merasa tidak perlu mengomentari krisis politik di Selatan," kata Profesor Sejarah dan Hubungan Internasional kelahiran Rusia di Universitas Kookmin Seoul, Andrei Lankov.
"Hampir setiap akhir pekan sejak Yoon berkuasa, ada demonstrasi besar-besaran di Seoul terhadap pemerintahannya," katanya seperti dikutip dari DW.
"Dan setiap kali ada unjuk rasa, media Korea Utara selalu melaporkannya. Namun itu tidak terjadi setelah ada protes menyusul pengumuman darurat militer. Saya pikir itu sebagian karena Korea Utara ingin melihat apa yang akan terjadi," tambahnya.
"Akan tetapi, ada juga pengurangan bertahap dalam jumlah liputan yang diberikan Korea Utara kepada rakyatnya di media pemerintah karena mereka tidak ingin memfokuskan perhatian mereka pada Korea Selatan, mereka ingin memposisikan Korea Selatan sebagai 'negara biasa'," kata Lankov. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Tak Biasa, Korea Utara Lamban Bereaksi saat Korea Selatan Gaduh Darurat Militer
Pewarta | : Widodo Irianto |
Editor | : Ronny Wicaksono |